Saturday, February 22, 2020

Memahami Falsafah Hidup Orang Sunda, Tri Tangtu Sunda Buana



Nama Sunda belakangan ini menjadi trend. Bukan lantaran peradaban yang dibangun, nama Sunda sempat menjadi polemik karena beberapa orang yang salah memahami apa itu Sunda. Kesalahpahaman ini bahkan mengguncang Indonesia. Adalah Sunda Empire yang diruntuhkan Polda Jawa Barat, mampu membuat Indonesia melakukan cibiran terhadap keberadaan Sunda.

Namun kali ini, kita tidak akan membahas Sunda Empire. Lebih dalam daripada itu, sedikit orang yang memahami bagaimana Sunda sebagai suku, yang berawal sebagai sebuah kerajaan memiliki falsafah kehidupan. 

Bagi orang Sunda asli yang masih menjaga kepercayaan dan nilai adat, falsafah kehidupan ini tak asing terdengar. Mereka seringkali menyebutnya dengan istilah, Tri Tangtu Sunda Buwana, atau Tri Tangtu Di Buana. Sebenarnya falsafah kehidupan seperti apa Tri Tangtu Di Buana itu?

Tri Tangtu di Buana, atau sering pula disebut sebagai pikukuh tilu, atau hukum tilu, merupakan konsep cara pandang hidup orang Sunda. Secara etimologis berasal dari kata Tri artinya tiga, tangtu artinya pasti atau ketentuan. 

Konsep tri tangtu adalah, ”tiga untuk ber-satu, satu untuk ber-tiga”, artinya ”tiga hal” itu sebenarnya adalah ”satu hal”, demikian juga sebaliknya. 

Di dalam masyarakat adat Sunda, tri tangtu merupakan wawasan, pakem atau ’kitab ahlak budaya’ sebagai rujukan perilaku yang meliputi hal:

tri tangtu dina raga atau salira,  
tri tangtu di buwana
tri tangtu di nagara.

Konsep tri tangtu dina raga, merupakan wawasan atau tuntunan yang menyangkut pribadi diri manusia. Manusia memiliki aspek sebagai makhluk yang, pribadi, sosial bermasyarakat, ber-Tuhan.  

Ketiga hal tersebut harus diselaraskan demi tercipta raga manusia yang sempurna. Tekad dan Ucap tidak akan berbuah apapun tanpa Lampah. Demikian pula, tidak akan ada Lampah tanpa Tekad dan Ucap. Itulah salah satu makna asas kesatuan tiga dina raga.

Konsep tri tangtu di nagara, merupakan wawasan hukum norma yang mengatur kehidupan masing-masing individu dan kelompok di dalam sebuah wilayah kekuasaan, atau ketatanegaraan. Hubungan kekuasaan bermasyarakat bernegara tersebut terlontar misalnya sebagai ungkapan,

resi, keilmuan dan sumber ajaran kebijakan 
ratu, kekuasaan dan sumber norma 
rama, keterlaksanan sistem nilai manusia.

Di kalangan penganut kepercayaan Sunda Wiwitan di Cigugur-Kuningan, dikenal misalnya ungkapan Rama Panyipta, Rama Pangwedar, dan Rama Panyusun. Hal ini sejalan dengan ungkapan lainnya, parentah, panyaur dan pamundut yang berlaku di masyarakat adat Kampung Naga.

Tri tangtu di buana, sering disetarakan dengan konsep Tria Politika (politik demokrasi Barat) yang membagi kekuasaan menjadi tiga: Yudikatif, Legislatif, dan Eksekutif.

Konsep tri tangtu di buwana, yang berkaitan dengan penataan lingkungan hidup dan semesta alam. Dalam hal ini, ekosistem manusia dilihat sebagai tiga aspek,

leuweung larangan, aspek semesta yang bernilai sakral dan mesti lestari.
leuweung tutupan, aspek semesta yang menyangga kehidupan masyarakat manusia.
leuweung garapan. aspek semesta yang menjadi usaha kerja nafkah manusia.

Ketiga aspek ini merupakan satu kesatuan dalam semesta buwana manusia. Salah satu dari ketiganya lepas, maka kehidupan menjadi tidak harmonis dan akhirnya menimbulkan ketidakselarasan, kekacauan, dan bencana. 

Kekacauan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat akhir-akhir ini, atau kerusakan alam yang mengakibatkan berbagai bencana, adalah akibat dari lepasnya salah satu ikatan tadi.

No comments:

Post a Comment

Mata Air Jalatunda, Harta Karun Sejarah di Antara Kepongahan Dunia Modern

Jawa barat merupakan salah satu daerah yang memiliki pangkal sejarah cukup panjang. Di mulai dari keberadaan kerajaan Tarumanegara, K...