Nama
Sunda belakangan ini menjadi trend. Bukan lantaran peradaban yang dibangun,
nama Sunda sempat menjadi polemik karena beberapa orang yang salah memahami apa
itu Sunda. Kesalahpahaman ini bahkan mengguncang Indonesia. Adalah Sunda Empire
yang diruntuhkan Polda Jawa Barat, mampu membuat Indonesia melakukan cibiran
terhadap keberadaan Sunda.
Namun
kali ini, kita tidak akan membahas Sunda Empire. Lebih dalam daripada itu,
sedikit orang yang memahami bagaimana Sunda sebagai suku, yang berawal sebagai
sebuah kerajaan memiliki falsafah kehidupan.
Bagi orang Sunda asli yang masih
menjaga kepercayaan dan nilai adat, falsafah kehidupan ini tak asing terdengar.
Mereka seringkali menyebutnya dengan istilah, Tri Tangtu Sunda Buwana, atau Tri
Tangtu Di Buana. Sebenarnya falsafah kehidupan seperti apa Tri Tangtu Di Buana
itu?
Tri
Tangtu di Buana, atau sering pula disebut sebagai pikukuh tilu,
atau hukum tilu, merupakan konsep cara pandang hidup orang Sunda.
Secara etimologis berasal dari
kata Tri artinya tiga, tangtu artinya pasti atau
ketentuan.
Konsep tri tangtu adalah, ”tiga untuk ber-satu, satu untuk ber-tiga”,
artinya ”tiga hal” itu sebenarnya adalah ”satu hal”, demikian juga
sebaliknya.
Di
dalam masyarakat adat Sunda, tri tangtu merupakan wawasan, pakem atau
’kitab ahlak budaya’ sebagai rujukan perilaku yang meliputi hal:
tri
tangtu dina raga atau salira,
tri
tangtu di buwana
tri
tangtu di nagara.
Konsep tri
tangtu dina raga, merupakan wawasan atau tuntunan yang menyangkut pribadi diri
manusia. Manusia memiliki aspek sebagai makhluk yang, pribadi, sosial
bermasyarakat, ber-Tuhan.
Ketiga
hal tersebut harus diselaraskan demi tercipta raga manusia yang sempurna. Tekad
dan Ucap tidak akan berbuah apapun tanpa Lampah. Demikian pula, tidak akan ada
Lampah tanpa Tekad dan Ucap. Itulah salah satu makna asas kesatuan tiga dina
raga.
Konsep tri
tangtu di nagara, merupakan wawasan hukum norma yang mengatur kehidupan
masing-masing individu dan kelompok di dalam sebuah wilayah kekuasaan, atau
ketatanegaraan. Hubungan kekuasaan bermasyarakat bernegara tersebut terlontar
misalnya sebagai ungkapan,
resi,
keilmuan dan sumber ajaran kebijakan
ratu,
kekuasaan dan sumber norma
rama,
keterlaksanan sistem nilai manusia.
Di
kalangan penganut kepercayaan Sunda Wiwitan di Cigugur-Kuningan, dikenal
misalnya ungkapan Rama Panyipta, Rama Pangwedar, dan Rama
Panyusun. Hal ini sejalan dengan ungkapan lainnya, parentah, panyaur dan
pamundut yang berlaku di masyarakat adat Kampung Naga.
Tri
tangtu di buana, sering disetarakan dengan konsep Tria Politika (politik
demokrasi Barat) yang membagi kekuasaan menjadi tiga: Yudikatif, Legislatif, dan
Eksekutif.
Konsep tri
tangtu di buwana, yang berkaitan dengan penataan lingkungan hidup dan semesta
alam. Dalam hal ini, ekosistem manusia dilihat sebagai tiga aspek,
leuweung
larangan, aspek semesta yang bernilai sakral dan mesti lestari.
leuweung
tutupan, aspek semesta yang menyangga kehidupan masyarakat manusia.
leuweung
garapan. aspek semesta yang menjadi usaha kerja nafkah manusia.
Ketiga
aspek ini merupakan satu kesatuan dalam semesta buwana manusia. Salah
satu dari ketiganya lepas, maka kehidupan menjadi tidak harmonis dan akhirnya
menimbulkan ketidakselarasan, kekacauan, dan bencana.
Kekacauan yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat akhir-akhir ini, atau kerusakan alam yang
mengakibatkan berbagai bencana, adalah akibat dari lepasnya salah satu ikatan
tadi.
No comments:
Post a Comment