Pramoedya Ananta Toer dikenal sebagai
salah satu penulis terbaik Indonesia. Tangan dinginnya menulis novel
yang sarat unsur sejarah pergolakan pada masa itu. Pram, sapaan karibnya,
menciptakan banyak tulisan terbaik dari dalam jeruji penjara setelah ia dihukum
karena dianggap membangkang.
Pram lahir pada 6 Februari 1925, ketika
Indonesia masih merupakan koloni Belanda. Ia menjelaskan bahwa nama
Pramoedya dibangun dari suku kata slogan revolusioner "yang pertama di
medan perang". Ayah Pram adalah seorang pengajar dan anggota kelompok
pro-kemerdekaan Budi Oetomo.
Pram pun menjalani masa muda yang tak
mudah. Ketika itu ayahnya menolak mendaftarkannya ke MULO (setingkat SMP),
sehingga Pram harus menempuh pendidikan ke sekolah lain.
Ia melanjutkan di Sekolah Kejuruan Radio
Surabaya. Kondisi ekonomi yang sederhana memaksanya untuk berhemat dan bekerja
bersama ibunya sebagai pedagang beras. Kemudian ia lulus dari sekolah pada
1941, tepat ketika Perang Dunia kedua pecah.
Saat itu Jepang menduduki Indonesia
setelah mengalahkan pasukan gabungan Amerika, Inggris, China, dan Belanda di
perairan Asia Tenggara. Seperti kebanyakan orang Indonesia lain, Pramoedya
sempat menyambut Jepang sebagai pembebas dari jajahan Belanda.
Ia kemudian bekerja selama perang untuk
kantor berita Jepang Domei. Namun ketika banyak orang Indonesia yang
diharuskan Jepang untuk melakukan kerja paksa, pandangannya berubah. Ia
memutuskan bergabung bersama kelompok gerilya.
Pramoedya kemudian pindah ke Jakarta dan
menyunting jurnal pro-kemerdekaan. Pekerjaannya ini membuat Pram dipenjara
selama dua tahun sejak 1947-1949.
Ketika berada di bui, penjaga penjara memberinya
salinan novel John Steinbeck Of Mice and Men yang digunakan Pramoedya
untuk belajar bahasa Inggris. Ia juga memerangi keputusasaan selama di penjara
dengan menulis. Selama masa penahanannya itulah Pramoedya menyelesaikan novel
pertamanya, Perburuan (1950).
Masterpiece dari Balik Penjara dan
Pengasingan
Setelah kemerdekaan Indonesia diakui
Belanda pada 1949, Pramoedya menerbitkan novel yang memperkuat
eksistensinya, Keluarga Gerilja (1950), yang menceritakan konsekuensi
tragis dari simpati politik yang terpecah dalam keluarga Jawa selama masa
revolusi Indonesia melawan pemerintah Belanda.
Mereka yang Dilumpuhkan (1951)
menggambarkan tahanan-tahanan aneh yang Pramoedya temui di kamp penjara
Belanda, cerita-cerita pendek yang dikumpulkan dalam Pertjikan
Revolusi dan Subuh (1950).
Pramoedya juga banyak menggambarkan
keadaan-keadaan di daerah pada saat itu, seperti dalam Tjerita dari
Blora (1952) yang menggambarkan provinsi Jawa saat masa pemerintahan
Belanda, dan Tjerita dari Djakarta yang menceritakan ketidakadilan
yang dirasakannya setelah kemerdekaan dicapai.
Dalam karya-karya awalnya, Pramoedya
mengembangkan gaya prosa yang kaya dengan menggabungkan bahasa Jawa sehari-hari
dengan gambaran dari budaya Jawa klasik.
Pada akhir 1950-an, Pramoedya semakin
dekat dengan kelompok kebudayaan kiri dan bahkan sempat menjadi salah satu
pimpinan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi yang memang secara
ideologis dekat dengan komunis.
Peristiwa G30 S PKI membuat semua yang
berafiliasi dengan golongan kiri disapu bersih. Termasuk di antaranya Pram. Ia
sempat dipenjara di Rumah Tahanan Militer Tangerang dan Nusakambangan, sebelum
akhirnya diasingkan ke Pulau Buru.
Pengasingan tak membuat jari-jarinya beku.
Pram menulis empat novel atau yang dikenal dengan Tetralogi Buru,
yaitu Bumi Manusia (1980), Anak Semua
Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), dan Rumah
Kaca (1988).
Novel Bumi Manusia dan Anak
Semua Bangsa mendapat banyak pujian dan menjadi populer di Indonesia.
Pemerintah kemudian melarang kedua novel tersebut untuk diedarkan, sedangkan
dua novel lainnya hanya bisa diterbitkan di luar negeri. Berbeda daro karya
Pramoedya sebelumnya, mereka ditulis dalam gaya naratif yang serbacepat.
Pada 1979, Pramoedya dibebaskan dan
menjadi tahanan rumah di Jakarta. Meskipun sebagian besar tulisannya dilarang,
ia tetap diizinkan untuk menulis.
Karya Bumi Manusia-nya dipuji sebagai
karya agung internasional dan diterjemahkan ke dalam 20 bahasa. Terlepas dari
itu, buku Pramoedya, termasuk Tetralogi Buru tetap dilarang di
Indonesia sampai 1990-an. Meskipun larangan akan karya-karyanya tidak pernah
terdaftar secara resmi, buku Tetralogi Buru baru tersedia di beberapa
toko buku di Jakarta pada awal era milenium.
Setelah Soeharto lengser pada 1998,
Pramoedya secara resmi dibebaskan dan diizinkan untuk bepergian dengan leluasa.
Setahun berselang, ia mengunjungi Amerika Serikat untuk menerima gelar doktor
kehormatan dari University of Michigan.
Pramoedya terus menulis dan mengembangkan
cara-cara inovatif untuk memasukkan sejarah Indonesia ke dalam karyanya. Pada 30 April 2006, Pramoedya mengembuskan napas terakhirnya akibat
komplikasi diabetes dan penyakit jantung. Ia meninggalkan seorang istri dan
delapan anak.
No comments:
Post a Comment