Saturday, February 22, 2020

Mau Jadi Penulis? Belum Sah Kalau Tidak Mengenal Pramoedya Ananta Toer


Pramoedya Ananta Toer dikenal sebagai salah satu penulis terbaik Indonesia. Tangan dinginnya menulis novel yang sarat unsur sejarah pergolakan pada masa itu. Pram, sapaan karibnya, menciptakan banyak tulisan terbaik dari dalam jeruji penjara setelah ia dihukum karena dianggap membangkang.

Pram lahir pada 6 Februari 1925, ketika Indonesia masih merupakan koloni Belanda. Ia menjelaskan bahwa nama Pramoedya dibangun dari suku kata slogan revolusioner "yang pertama di medan perang". Ayah Pram adalah seorang pengajar dan anggota kelompok pro-kemerdekaan Budi Oetomo.

Pram pun menjalani masa muda yang tak mudah. Ketika itu ayahnya menolak mendaftarkannya ke MULO (setingkat SMP), sehingga Pram harus menempuh pendidikan ke sekolah lain.

Ia melanjutkan di Sekolah Kejuruan Radio Surabaya. Kondisi ekonomi yang sederhana memaksanya untuk berhemat dan bekerja bersama ibunya sebagai pedagang beras. Kemudian ia lulus dari sekolah pada 1941, tepat ketika Perang Dunia kedua pecah.

Saat itu Jepang menduduki Indonesia setelah mengalahkan pasukan gabungan Amerika, Inggris, China, dan Belanda di perairan Asia Tenggara. Seperti kebanyakan orang Indonesia lain, Pramoedya sempat menyambut Jepang sebagai pembebas dari jajahan Belanda.

Ia kemudian bekerja selama perang untuk kantor berita Jepang Domei. Namun ketika banyak orang Indonesia yang diharuskan Jepang untuk melakukan kerja paksa, pandangannya berubah. Ia memutuskan bergabung bersama kelompok gerilya.

Pramoedya kemudian pindah ke Jakarta dan menyunting jurnal pro-kemerdekaan. Pekerjaannya ini membuat Pram dipenjara selama dua tahun sejak 1947-1949.

Ketika berada di bui, penjaga penjara memberinya salinan novel John Steinbeck Of Mice and Men yang digunakan Pramoedya untuk belajar bahasa Inggris. Ia juga memerangi keputusasaan selama di penjara dengan menulis. Selama masa penahanannya itulah Pramoedya menyelesaikan novel pertamanya, Perburuan (1950).

Masterpiece dari Balik Penjara dan Pengasingan

Setelah kemerdekaan Indonesia diakui Belanda pada 1949, Pramoedya menerbitkan novel yang memperkuat eksistensinya, Keluarga Gerilja (1950), yang menceritakan konsekuensi tragis dari simpati politik yang terpecah dalam keluarga Jawa selama masa revolusi Indonesia melawan pemerintah Belanda. 

Mereka yang Dilumpuhkan (1951) menggambarkan tahanan-tahanan aneh yang Pramoedya temui di kamp penjara Belanda, cerita-cerita pendek yang dikumpulkan dalam Pertjikan Revolusi dan Subuh (1950).

Pramoedya juga banyak menggambarkan keadaan-keadaan di daerah pada saat itu, seperti dalam Tjerita dari Blora (1952) yang menggambarkan provinsi Jawa saat masa pemerintahan Belanda, dan Tjerita dari Djakarta yang menceritakan ketidakadilan yang dirasakannya setelah kemerdekaan dicapai.

Dalam karya-karya awalnya, Pramoedya mengembangkan gaya prosa yang kaya dengan menggabungkan bahasa Jawa sehari-hari dengan gambaran dari budaya Jawa klasik.

Pada akhir 1950-an, Pramoedya semakin dekat dengan kelompok kebudayaan kiri dan bahkan sempat menjadi salah satu pimpinan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi yang memang secara ideologis dekat dengan komunis.

Peristiwa G30 S PKI membuat semua yang berafiliasi dengan golongan kiri disapu bersih. Termasuk di antaranya Pram. Ia sempat dipenjara di Rumah Tahanan Militer Tangerang dan Nusakambangan, sebelum akhirnya diasingkan ke Pulau Buru.

Pengasingan tak membuat jari-jarinya beku. Pram menulis empat novel atau yang dikenal dengan Tetralogi Buru, yaitu Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988).

Novel Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa mendapat banyak pujian dan menjadi populer di Indonesia. Pemerintah kemudian melarang kedua novel tersebut untuk diedarkan, sedangkan dua novel lainnya hanya bisa diterbitkan di luar negeri. Berbeda daro karya Pramoedya sebelumnya, mereka ditulis dalam gaya naratif yang serbacepat.

Pada 1979, Pramoedya dibebaskan dan menjadi tahanan rumah di Jakarta. Meskipun sebagian besar tulisannya dilarang, ia tetap diizinkan untuk menulis.

Karya Bumi Manusia-nya dipuji sebagai karya agung internasional dan diterjemahkan ke dalam 20 bahasa. Terlepas dari itu, buku Pramoedya, termasuk Tetralogi Buru tetap dilarang di Indonesia sampai 1990-an. Meskipun larangan akan karya-karyanya tidak pernah terdaftar secara resmi, buku Tetralogi Buru baru tersedia di beberapa toko buku di Jakarta pada awal era milenium.

Setelah Soeharto lengser pada 1998, Pramoedya secara resmi dibebaskan dan diizinkan untuk bepergian dengan leluasa. Setahun berselang, ia mengunjungi Amerika Serikat untuk menerima gelar doktor kehormatan dari University of Michigan.

Pramoedya terus menulis dan mengembangkan cara-cara inovatif untuk memasukkan sejarah Indonesia ke dalam karyanya. Pada 30 April 2006, Pramoedya mengembuskan napas terakhirnya akibat komplikasi diabetes dan penyakit jantung. Ia meninggalkan seorang istri dan delapan anak.

No comments:

Post a Comment

Mata Air Jalatunda, Harta Karun Sejarah di Antara Kepongahan Dunia Modern

Jawa barat merupakan salah satu daerah yang memiliki pangkal sejarah cukup panjang. Di mulai dari keberadaan kerajaan Tarumanegara, K...